Senin, 02 Desember 2013

ARTIKEL PELAPISAN SOSIAL

Artikel pelapisan sosial

Artikel pelapisan sosial

Stratifikasi Sosial Nelayan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu



 


Kehidupan nelayan di Pulau Panggang, dan barangkali juga di tempat lain, melahirkan suatu stratifikasi sosial yang khas. Suatu rangkaian pengelolaan sumber daya ikan telah menempatkan orang-orang, dengan kesempatan dan kemampuan yang dimiliki, pada posisi yang menguntungkan maupun tidak dalam kehidupan khas pesisir. Para tengkulak, begitulah para pengumpul ikan tangkapan disebut, menjadi golongan elit yang menjadi tumpuan harapan sebagai penyedia jasa menjual ikan tangkapan yang akan mendahulukan pembayarannya dan sebagai pemberi pinjaman uang manakala paceklik terjadi.

Mereka menjadi penguasa di daratan ketika nelayan berlabuh membawa ikan-ikan tangkapan. Setiap tengkulak mempunyai kekhasan masing-masing. Nelayan memiliki pilihan tengkulak yang bisa memahami kondisi mereka. Kadangkala, para tengkulak ini ada juga yang merangkap menjadi pemilik alat tangkap berupa kapal jaring muroami. Posisi merangkap, sebagai pemilik alat tangkap sekaligus pembeli hasil tangkapan, membuat mereka tidak perlu melakukan tawar-menawar lagi dengan nelayan ‘binaan’nya. Ini merupakan keuntungan tersendiri bagi kedua belah pihak.

Suatu ketika, pemerintah ingin memusatkan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Hal ini menjadi kendala tersendiri terutama bagi tengkulak. TPI pada awalnya ada untuk mengakomodir para nelayan yang memiliki posis tawar rendah. Akan tetapi, pemerintah tidak menyadari persaingan yang terjadi di antara para tengkulak ini, apalagi untuk menempatkan mereka dalam satu atap TPI. Pemerintah juga tidak menyadari betapa nelayan kecil yang ingin dilindunginya memiliki kedekatan tertentu dengan para tengkulak, secara sukarela maupun terpaksa. Nelayan mungkin ‘dihisap’ —sebagaimana disangka pemerintah dan masyarakat non-nelayan secara umum— oleh para tengkulak. Akan tetapi, apakah masalah itu lantas selesai dengan dibangunnya TPI? Sayangnya tidak. Masalahnya terletak pada hubungan ‘saling menguntungkan’ antara tengkulak sebagai pihak yang berkepentingan pada ikan-ikan hasil tangkapan dan nelayan yang membutuhkan akses instan pada sumber keuangan.

Pemilik kapal jaring muroami, setidaknya berkeinginan juga menaikkan posisinya di masyarakat dengan menjadi juragan pengumpul ikan. Keberadaan mereka menjadi harapan juga bagi nelayan lain yang berkeinginan memperoleh pendapatan yang lebih besar daripada sekadar membubu atau menumbak. Pada musim muroami, penghasilan mereka, baik pemilik maupun nelayan buruh, tentu akan meningkat setidaknya sampai alam kemudian tidak bersahabat untuk sementara waktu. Pemilik kapal jaring muroami juga ikut melaut menjadi Nakhoda kapal. Mereka tidak semata-mata menjadi bos yang sekadar menunggu hasil di darat. Terkadang, dalam perjalanan yang cukup jauh sampai memasuki wilayah provinsi lain, mereka akan melakukan transaksi penjualan tangkapan di wilayah tersebut.

Kehidupan yang keras sebagai pemburu —yang hewan buruannya berkeliaran bebas di lautan yang tidak bisa benar-benar dipagari— menuntut mereka menjadi “negosiator” (maksudnya mungkin mediator) dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di antara nelayan-nelayan. Posisi yang strategis secara sosial ini menghantarkan mereka menjadi orang-orang yang dihormati dalam kehidupan masyarakat pesisir. Tidaklah mengherankan jika mereka sering didaulat menjadi ketua Rukun Tetangga (RT) bahkan ketua Rukun Warga (RW), bersanding dengan golongan terhormat lainnya, yaitu juragan pengumpul ikan.

Selain dua golongan di atas, golongan ketiga memiliki populasi yang paling besar, namun kurang berpengaruh dalam masalah-masalah penting yang terjadi di Pulau. Mereka menjalani hidupnya sebagai nelayan pemancing, pembubu atau penumbak. Mereka sering berpindah-pindah kegiatan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi musim dan alam. Karena keterbatasan modal juga, mereka bergantung pada tengkulak atau pemilik muroami untuk menyambung hidup. Mereka memiliki kedekatan tertentu dengan golongan-golongan yang mampu itu dengan mengharapkan keuntungan-keuntungan tertentu, yang semata-mata tergantung pada kebaikan hati golongan yang diharapkan bantuannya itu.

Lahirnya Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu yang beribukota di Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, membawa dampak pada stratifikasi sosial di Pulau Panggang. Keberadaan birokrat di Pulau telah membawa keuntungan bagi beberapa kelompok masyarakat yang dekat dengan mereka. Golongan masyarakat lain —yang tidak begitu dekat dan tidak merasakan secara langsung dampak kebijakan birokrat ini— mengambil jarak dan cenderung bersikap berseberangan. Hal ini berdampak pada semua golongan, mulai dari juragan sampai nelayan kecil. Kedekatan tentu akan membawa berkah tersendiri. Akan tetapi, tentu saja, tidak selayaknya kebijakan pemerintah menjadi keuntungan bagi sekelompok orang saja. Kebijakan seharusnya diterapkan dengan tujuan menyejahterakan semua pihak dalam satu wilayah di mana kebijakan itu diterapkan.

Kebijakan Pemerintah untuk mengembangkan pembudidayaan ikan —sebuah langkah guna mencegah tangkap-berlebih (over-fishing), benarkah?— ‘hanya’ dirasakan oleh mereka yang dekat dengan pemerintah. Akses kepada perairan yang tepat untuk dijadikan lokasi memasang keramba menjadi salah satu keuntungan. Hal ini tentu akan menjadi suatu bahaya laten dalam pola hubungan sosial yang telah tumbuh di kalangan nelayan. Belum lagi pemodal yang berasal dari luar pulau, yang juga melakukan pengkavlingan laut dalam membangun “kerajaan keramba” mereka, menambah muram suasana. Kepada siapa sebenarnya kebijakan ini diberlakukan? Pada akhrinya, nelayan akan tetap melaut karena mereka tidak mendapat tempat dalam usaha pembudidayan ikan. Bahkan pembudidaya juga akan tetap melaut untuk menambah pemasukan.

Over-fishing seperti dikatakan para peneliti dan pejabat pemerintah tampaknya tidak pernah terlintas dalam benak nelayan. Ikan, menurut mereka, akan tetap ada beranak-pinak, sebagaimana nelayan juga beranak-cucu. Nelayan —tidak hanya sebagai profesi sebagaimana tertulis di KTP-KTP mereka— adalah jiwa dan naluri kehidupan. Betapapun suatu ketika mereka telah menjadi pembudidaya ikan atau bahkan bekerja di instansi pemerintahan, ketika ada orang bertanya “Dimana saya bisa menemui nelayan?”, serta merta mereka akan dengan bangga menjawab “Saya nelayan!”. Nelayan yang lain mungkin akan menimpali, “ Terserah, mau ada Nelayan atau Nelayan Kecil, yang penting kalau di sini semua namanya nelayan!”

SUMBER : http://www.ikanuntuknelayan.com/artikel/58-stratifikasi-sosial-nelayan-di-pulau-panggang-kepulauan-seribu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar